Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
bin At-Tusi Al-Ghazali. Beliau lahir di sebuah desa kecil bernama
Ghazalah Thabaran, di Thus, wlayah Khurasan (Iran) pada tahun 450 H atau
1058 M dari keluarga yang taat beragama dan bersahaja, dari itulah
beliau belajar al-Qur’an. Ayah al-Ghazali adalah seorang muslim yang
salih, sekalipun ia tidak orang yang kaya namun ia selalu meluangkan
waktunya untuk menghadiri majelis-majelis pengajian yang diselenggarakan
ulama, beliau suka terhadap ilmu, selalu berdoa agar puteranya menjadi
seorang ulama yang pandai dan suka member nasehat. Ayahnya, Muhammad,
bekerja sebagai seorang pemintal dan pedagang kain wol, Al-Ghazali
mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Abu Al-Futuh Ahmad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad At-Tusi Al-Ghazali yang dikenal dengan
julukan majduddin (wafat pada tahun 520 H). Keduanya kemudian menjadi
ulama besar, dengan kecenderungan yang berbeda. Majduddin lebih
cenderung pada kegiatan da’wah dibanding Al-Ghazali yang menjadi penulis
dan pemikir.[1]
Menjelang akhir hayat, ayah al-Ghazali menitipkan kedua anaknya
kepada karibnya, dengan pesan agar kedua anaknya tersebut dididik dengan
baik sampai harta peninggalannya sampai habis. Pendidikan Al-Ghazali di
masa kanak-kanak berlangsung di kampung asalnya. Setelah ayahnya wafat,
ia dan saudaranya dididik oleh seorang sufi yang mendapat wasiat dari
ayahnya untuk mengasuh mereka, yaitu Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani
At-Tusi, seorang ahli tasawuf dan fiqih dari Tus. Pada awalnya, sang
sufi mendidik mereka secara langsung. Namun, setelah harta mereka habis,
sementara sufi itu seorang yang miskin, tidak sanggup member makan
al-Ghazali, maka sufi tersebut menyarankan agar kedua anak tersebut
tetap melanjutkan belajar dengan jalan mengabdi pada sebuah sekolahan,
sehingga disamping dapat belajar, juga dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya. Madrasah ini memberi para pelajarnya pakaian dan makanan
secara cuma-cuma. Santunan dan fasilitas yang disediakan madrasah itu
sempat menjadi tujuan Al-Ghazali dalam menuntut ilmu. Kemudian sufi itu
menyadarkan Al-Ghazali bahwa tujuan menuntut ilmu bukanlah untuk mencari
penghidupan, melainkan semata-mata untuk memperoleh keridhaan Allah SWT
dan mencapai pengetahuan tentang Allah SWT secara benar. Di madrasah
inilah Al-Ghazali mulai belajar fiqih.
Menuurt suatu riwayat disebutkan, bahwa teman ayah al-Ghazali yang
bernama Ahmad bin Muhammad al-Razikani, seorang sufi besar. Dari guru
tersebut al-Ghazali mempelajari fiqh, riwayat para wali dan kehidupan
spiritual mereka. Selain itu, al-Ghazali belajar menghafal syair-syair
mahabbah (cinta) kepada Allah, al-Qur’an dan Sunnah.
Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa al-Ghazali mempunyai
pendidikan spiritual yang kuat, sehingga menjadi dasar pembentukan
kepribadian dalam perkembangan hidup selanjutnya.
Setelah mempelajari dasar-dasar fiqih di kampung halamannya, ia
merantau ke Jurjan, sebuah kota di Persia yang terletak diantara kota
Tabristan dan Nisabur. Di jurjan, ia tidak hanya mendapat pelajaran
Islam, sebagaimana yang ia terima di Thus, tetapi sudah mulai mendalami
pelajaran bahasa arab dan bahasa Persia dari seorang guru yang bernama
Imam Abu Nashir al-Isma’ily.
Setelah sempat pulang ke Thus, ia merasakan bekal pengetahuan yang
masih kurang, kemudian, Al-Ghazali berangkat lagi ke Naisabur. Di sana
ia belajar kepada Imam Haramain, Diya’uddin al-Juwaini dalam ilmu fiqih,
ilmu ushul, ilmu retorika, ilmu debat, mantik, filsafat, dan ilmu
kalam.
Selain itu, Al-Ghazali juga belajar tasawuf kepada dua orang sufi,
yaitu Imam Yusuf An-Nassaj dan Imam Abu Ali Al-Fadl bin Muhammad bin Ali
Al-Farmazi At-Tusi. Ia juga belajar hadits kepada banyak ulama hadits,
seperti Abu Sahal Muhammad bin Ahmad Al-Hafsi Al-Marwazi, Abu Al-Fath
Nasr bin Ali bin Ahmad Al-Hakimi At-Tusi, Abu Muhammad Abdullah bin
Ahmad Al-Khuwari, Muhammad bin Yahya bin Muhammad As-Sujja’i Az-Zauzani,
Al-Hafiz Abu Al-Fityan Umar bin Abi Al-Hasan Ar-Ru’asi Ad-Dahistani,
dan Nasr bin Ibrahim Al-Maqsidi.
Selanjutnya, al-Ghazali berkhidmat di madrasah Nidhamiyah Naisabur.
Tempat pendidikan ini paling berjasa dalam mengembangkan bakat dan
kecerdasannya. Berkat bimbingan al-Juwainy seorang ulama’ Syafi’iyah
yang beraliran Asy’ariyyah, al-Ghazali terbentuk jiwa dan kepribadiannya
sebagai ulama yang kritis.
Setelah gurunya, Al-Juwaini, meninggal dunia (478 H/1085 M),
al-Ghazali mengunjungi tempat kediaman seorang wazir (menteri) pada masa
pemerintahan sultan Adud Ad-Daulah Alp Arsalan (lahir pada tahun 455 H
atau 1063 M dan wafat pada tahun 465 H atau 1072 M) dan Jalal Ad-Daulah
Malik Syah (lahir pada tahun 465 H atau 1072 M dan wafat pada tahun 485 H
atau 1092 M) dari dinasti Salajikah di Al-Askar, sebuah kota di Persia.
Kediaman wazir ini merupakan sebuah majelis pengajian, tempat ulama
bertukar pikiran. Wazir tersebut sangat tertarik ketinggian ilmu
filsafatnya, luasnya ilmu pengetahuan, kefasihan lidahnya, dan kejituan
argumentasinya.
Setelah beberapa kali al-Ghazali berdebat dengan para ulama di sana,
mereka tidak segan-segan mengakui keunggulan ilmu al-Ghazali karena
berkali-kali argumentasinya tidak dapat dipatahkan. Melihat kehebatan
al-Ghazali, kagum terhadap pandangan-pandangan Al-Ghazali sehingga ia
diminta untuk mengajar di Madrasah Nidhamiyah Baghdad yang didirikan
oleh wazir sendiri. Al-Ghazali mengajar di Baghdad pada tahun 484
H/1091. Atas prestasinya yang kian meningkat, pada usia 43 tahun
al-Ghazali diangkat menjadi pemimpin (rector) universitas tersebut.di
kota inilah al-Ghazali enjadi orang yang terkenal, pengajiannay semaki
luas, dan ia banyak menulis beberapa kitab seperti: al-Basit,
al-Wasit, al-Wajiz, al-Khulasah fi ‘Ilm Fiqh, al-Munkil fi ‘Ilm Jidal,
Ma’khad al-Khilaf, Lubab al-Nazar, Tahsin al-Ma’akhis, dan al-Mabadi’ wa
al-Ghayat fi Fan al-khilaf.
Pangkat dan kedudukan tinggi serta berbagai penghormatan, tidaklah
membuat al-Ghazali puas. Ia selalu berusaha meningkatkan pengetahuannya
untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki, namun ilmu yang didapatkan
melalui akal dan indera belumlah mendapatkan kebenaran mutlak, bahkan
akhirnya, al-Ghazali meragukan kebenaran ilmu pengetahuan yang telah
diperoleh akal dan indera. Kebenaran itu hanya mampu dicapai dengan
dzauq yang memperoleh cahaya Tuhan.
Hanya 4 tahun menjadi rector di Universitas Nidhimayah. Setelah itu
ia mulai mengalami krisis rohani, krisis keraguanyang meliputi akidah
dan semua jenis ma’rifat. Secara diam-diam al-Ghazali meninggalkan
Baghdad menuju Syam, agar tidak ada yang menghalangi kepergiannya baik
dari penguasa (khalifah) maupun sahabat sahabat dosen se-universitasnya.
Pekerjaan mengajar ditinggalkan, dan mulailah al-Ghazali hidup jauh
dari lingkungan manusia, zuhud yang ia tempuh.
Selama hamper dua tahun, al-Ghazali menjadi hamba Allah yang
betul-betul mampu mengendalikan gejolak hawa nafsunya. Ia menghabiskan
waktunya untuk khalwat, ibadah, dan I’tikaf di sebuah masjid di
Damaskus. Berdzikir sepanjang hari di menara. Untuk melanjutkan
taqarrubnya kepada Allah , al-Ghazali pindah ke Baitul Maqdis. Dari
sinilah al-Ghazali baru tergerak hatinya untuk memenuhi panggilan Allah
menjalankan ibadah haji. Dengan segera ia pergi ke Makkah, Madinah, dan
setelah ziarah ke makam Rasulullah saw serta makam nabi Ibrahim a.s,
ditinggalkan kedua kota suci itu dan menuju Hijaz.
Keyakinan yang dulu hilang, kini ia peroleh kembali. Tingkat ma’rifat
yang terdapat dalam tasawuf, menurutnya, adalah jalan yang membawa
kepada pengetahuan yang kebenarannya dapat diyakini. Setelah dari Syam –
Baitul Maqdis – Hijaz selama lebih kuarng sepuluh tahun, atas desakan
Fakhrul Muluk pada tahun 499 H/1106 M al-Ghazali kembali ke Naisabur.
Setelah itu, ia kembali lagi ke Baghdad untuk meneruskan kegiatan
mengajarnya. Kali ini ia tampil sebagai tokoh pendidikan yang
betul-betul mewarisi dan mengarifi ajaran Rasulullah saw. Buku pertama
yang disusunannya setelah kembali ke universitas Nidhamiyah ialah Al-Muqidz min al-Dhalal. Fakhrul Muluk merasa gembira atas kembalinya al-Ghazali mengajar di universitas terbesar di kota ini.
Tidak lama al-Ghazali tinggal di Naisabur ia kembali ke kampung
halamannya, Ghazalah Thabaran, di Thus. Ia wafat di kampung halamannya
pada tahun 505 H atau 1111 M. Ia menghabiskan sisa umurnya untuk membaca
Al-Qur’an dan hadis serta mengajar. Di samping rumahnya, didirikan
madrasah untuk para santri yang mengaji dan sebagai tempat berkhalwat
bagi para sufi. Pada hari senin tanggal 14 Jumadatsaniyah tahun 505 H/18
Desember 1111 M, al-Ghazali pulang ke hadirat Allah dalam usia 55 tahun
dan dimakamkan di sebuah tempat khalwat.
2.2 Konsep Pendidikan Menurut Al-Ghazali
A. Pengertian Pendidikan
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap
bidang pengajaran dan pendidikan dalam kitabnya Ihya Ulumiddin. Adapun
unsur-unsur pembentuk pengertian pendidikan dari al-Ghazali dapat
dilihat dalam pernyataan berikut:
“Sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah,
Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan
berhampiran dengan malaikat tinggi…”[2]
“…dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajaran dan bukan ilmu beku yang tidak berkembang.”[3]
Jika kita perhatikan kutipan yang pertama, kata “hasil” menunjukkan
proses, kata “mendekatkan diri kepada Allah” menunjukkan tujuan, dan
kata “ilmu” menunjukkan alat. Sedangkan pada kutipan yang kedua
merupakan penjelasan mengenai alat, yakni disampaikannya dalam bentuk
pengajaran. Batas awal berlangsungnya proses pendidikan menurut
al-Ghazali, yakni sejak bertemunya sperma dan ovum sebagai awal manusia.
Batas akhir pendidikan menurut al-Ghazali sampai akhir hayatnya.
Dari keterangan di atas pendidikan menurut al-Ghazali adalah proses
memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui
berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran
secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab
orang tua dan masyarakat. Pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan juga
bernuansa islami dan moral. Di samping itu, ia juga tidak mengabaikan
masalah-masalah duniawiyah, sehingga ia juga menyediakan porsi yang
sesuai dengan pendidikan.
B. Tujuan Pendidikan
Al-Ghazali berkata:
“Dunia tempat menanam untuk akherat. Sebagai alat untuk berhubungan
dengan Allah Azza wa Jalla, bagi orang yang menjadikannya sebagai tempat
tinggal, bukan bagi orang yang menjadikannya tempat menetap dan tempat
berdiam.”[4]
“Bila engkau memandang ilmu engkau melihatnya lezat, maka ia dicari
karena lezatnya, dan engkau menemukan sebagai jalan kebahagiaan ke
akherat dan sebagai perantara pendekatan kepada Allah Ta’ala, dan tidak
sampai kepada Allah melainkan dengan ilmu. Derajat yang paling tinggi
bagi anak cucu adam adalah kebahagiaan yang langgeng dan sesuatu yang
utama adalah yang dapat mengantarkan ke sana kecuali dengan ilmu dan
amal dan tidak sampai pada amal kecuali dengan mengetahui cara beramal.
Pokok kebahagian dunia dan akherat adalah dengan ilmu, dan hal itu
adalah amal yang utama.”[5]
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali:
1. Sebagai kesempurnaan manusia dunia dan akherat. Manusia akan
sampai pada kesempurnaan dengan mencari keutamaan melalui ilmu. Kemudian
keutamaan itu membahagiakannya di dunia dan akherat.
2. Ilmu patut dicari karena dzatnya, yang memiliki kelebihan dan
kebaikan. “ilmu pengetahuan itu secara mutlak utama dalam dzatnya”[6].
C. Kurikulum Pendidikan Menurut Al-Ghazali[7]
Konsep kurikulum al-Ghozali terkait erat dengan konsepnya tentang ilmu pengetahuan. Al-Ghozali membagi ilmu dalam tiga bagian:
Pertama, ilmu-ilmu yang terkutuk baik banyak maupun sedikit.
Yakni ilmu yang tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat.
Misalnya,
Ø Ilmu sihir. Hal tersebut dikarenakan dalam pandangan al-Ghazali
ilmu-ilmu tersebut dapat mendatangkan malapetaka bagi pemiliknya maupun
orang lain, dapat menyebabkan perpecahan persatuan manusia dan kasih
sayangnya dan menyebabkan kedengkian di hati serta menebarkan
perbantahan antara manusia.
Ø Ilmu nujum ini kemudian dibagi dua oleh al-Ghazali. Yakni ilmu
nujum berdasarkan perhitungan (Ilmu Falak), ia memamndang bahwa ilmu itu
tidak tercela oleh syara’, sedangkan ilmu nujum yang berdasarkan istidlali, yakni
semacam ilmu meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang. Ilmu nujum
jenis kedua inilah yang dianggap tercela menurut syara’ karena dapat
mendatangkan keraguan kepada Allah SWT.
Ø Masih termasuk dalam kategori ilmu pertama diatas. Al-Ghazali
mengatakan bahwa mempelajari ilmu filsafat tidak sesuai bagi sebagian
orang, sesuai menurut tabi’atnya tidak semua orang dapat mempelajari
ilmu tersebut dengan baik. Seperti anak bayi yang masih menyusu, merasa
sakit apabila makan”daging burung dan macam gula-gula yang lembut”, yang
mana perut besarnya tidak sanggup menghaluskannya.
Kedua, ilmu yang dipelajari secara mutlak yaitu mempelajari
ilmu agama, ibadah dan macam-macamnya. Ilmu-ilmu itu yang mendatangkan
kebersihan jiwa, dan membersihkan jiwa dari tipu daya/kerusakan dan
membantu mengetahui kebaikan dan pelaksanaannya untuk mempersiapkan
dunia untuk akherat. Al-Ghozali membagi ilmu kategori kedua ini dengan
ilmu yang fardlu ‘ain dan fardlu kifayah. Yang termasuk dalam ilmu yang fardlu ‘ain
menurut Al-Ghozali adalah ilmu-ilmu tentang agama dan macam-macamnya.
Serta ilmu tentang tata cara melaksanakan perkara yang wajib. Sedangkan
yang termasuk dalam ilmu fardlu kifayah adalah semua ilmu yang
diperlukan untuk kehidupan masyarakat, karena bila sebagian orang telah
mempelajarinya maka masyarakat terwakili. Di antara ilmu kifayah ialah
ilmu kedokteran dan ilmu hitung. Jika sudah ada salah seorang yang
menguasai dan dapat mempraktekkannya maka sudah dianggap gugur kewajiban
mempelajarinya bagi yang lain.
Ketiga, ilmu yang terpuji dalam batas tertentu, dan tercela
jika mempelajarinya dalam kadar yang berlebihan atau mendalam. Karena
apabila manusia dengan mendalam pengkajiannya dapat menyebabkan
terjadinya kekacauan pemikiran dan keraguan, serta dapat pula membawa
kedalam kekafiran, seperti ilmu filsafat keTuhana. Mengenai ilmu
filsafat ini Al-Ghazali membaginya menjadi ilmu matematika, ilmu-ilmu
logika, ilmu ilahiyyat, ilmu fisika, ilmu politik, dan ilmu etika.
Dengan ini kita mengetahui bagaimana al-Ghazali membagi
bermacam-macam ilmu dan member nilai setiap ilmu dengan keuntungan dan
kerugiannya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh salah satu dari tiga
bagian, yaitu:
a) Segi watak yang sampai pada pengenalannya.
b) segi ruang lingkup kemanfaatan bagi manusia
c) Segi tempat usaha.
Dari pembahasan di atas pada akhirnya ilmu yang paling utama menurut
beliau adalah ilmu-ilmu agama dan cabang-cabangnya. Karena ilmu-ilmu
agama diperoleh dengan kesempurnaan akal yang mulia, untuk kebahagiaan
dunia dan akhirat serta didapat yang jelas baiknya.
Dalam menyusun kurikulum pelajaran Al-Ghozali memberi perhatian
khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana dilakukannya terhadap
ilmu-ilmu yang sangat menetukan bagi kehidupan masyarakat. Dengan kata
lain beliau mementingkan sisi faktual dalam kehidupan. Beliau juga
menekankan sisi budaya. Menurut baliau ilmu itu wajib dituntut bukan
karena keuntungan diluar hakikatnya, tetapi karena hakikatnya sendiri.
Sesuai dengan jiwa tasawwuf dan zuhudnya, beliau tidak mementingkan
ilmu-ilmu yang berbau seni atau keindahan. Selanjutnya sekalipun beliau
mementingkan pengajaran berbagai keahlian esensial dalam kehidupan dan
masyarakat, beliau tidak menekankan pentingnya keterampilan.
D. Metode
Al-Ghazali tidak menetapkan metode khusus pengajaran dalam berbagai
tulisannya kecuali pada pengajaran agama saja pada anak-anak. Ia
menjelaskan metode khusus pendidikan anak dan menyempurnakan agar
berakhlak terpuji, menhiasi dirinya dengan keutamaan-keutamaan.
Berdasarkan prinsipnya bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang
memerlukan hubungan yang erat anatara guru dan murid.
Metode pengajaran perhatian Al-Ghazali akan pendidikan agama dan
moral sejalan dengan kecenderungan pendidikannya secara umum, yaitu
prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus
dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya.
Al-Ghazali menggambarkan pentingnya keteladanan utama dari seorang
guru, juga dikaitkan dengan pandangannya tentang pekerjaan mengajar.
Menurutnya mengajar merupakan pekerjaan yang paling mulia sekaligus yang
paling agung. Pandangannyaberlandaskan bukti firman Allah dan
hadis-hadis Nabi yang mengatakan status guru sejajar dengan tugas
kenabian. Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa wujud termulia di
muka bumi adalah manusia, dan bagian inti manusia yang termulia adalah
hatinya. Guru bertugas menyempurnakan, menghias, dan mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
Al-Ghazali mengibaratkan siapa yang berilmu dan membimbing manusia dan ilmunya berfaedah bagi orang lain maka, “dia
seperti matahari yang memerangi orang lain dan dia menerangi dirinya
sendiri dan seperti misik yang mengharumi lainnya sedangkan dia sendiri
harum.”
Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berfaham
empirisme, oleh karena itu, beliau sangat menekankan pengaruh pendidikan
terhadap anak didik. Anak adalah amanat yang dipercayakan kepada orang
tuanya, hatinya bersih, murni, laksana permata yang berharga, sederhana,
dan bersih dari ukiran apapun. Ia dapat menerima tiap ukiran yang
digoreskan kepadanya dan akan denderung ke arah yang kita kehendaki.
Oleh karna itu, bila ia dibiasakan dengan sifat-sifat yang baik, maka
akan berkembanglah sifat-sifat yang baik pula. Sesuai dengan hadits
Rasulullah SAW, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua
orang tuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi,
Nasrani, dan Majusi.”( HR. Muslim)
E. Pendidikan Agama dan Metodenya
Al-Ghazali adalah imam agama yang berciri tasawuf, mengutamakan
pendidikan yang berkembang yang pertama kali membina hati dengan
ma’rifat dan mendidik jiwa dengan ibadah dan mengenal Allah serta
pendekatan diri kepada Allah yaitu dengan cara menanamkan pokok-pokok
agama yang benar di dada anak kecil pada masa pertumbuhannya.
Al-Ghazali mengatakan bahwa pendidikan agama harus dimuli sejak usia
muda. Karena pada masa ini, anak kecil siap menerima aqidah-aqidah agama
dengan iman yang murni dan tidak memerlukan bukti atau senagng pada
ketetapan dan hujahnya. Pertama kali ketika mengajarkan agama dengan
menghafalkan kaidah-kaidah dan pokok-pokoknya. Sesudah itu gur
menyingkap maknanya, memahaminya, manancapkannya kemudian
membenarkannya. Menanamkan agama pada anak kecil didahului dengan
menuntun dan meniru, serta dengan ketentuan-ketentuan sedikit sampai
anak menjadi pemuda. Ian bisa ditanam selama ditegakkan I’tiqodnya
dikuatkan dengan dalil. Adapun selama aqidah tidak ditegakkan dengan
dalil akan menjadi agama yang lemah, mudah luntur dan menerima yang
lain. Metode ini tidak ditegakkan melalui diskusi atau berdebat karena
berdebat banyak merusakan hal-hal yang berfaedah yang terkadang
menyebabkan keracuan pikiran murid dan meragukannya. Bahkan ditegakkan
dengan mengulang-ulag membaca Al-Qur’an, tafsir, hadis dan membiasakan
ibadah.
Dengan ini al-Ghazali menetapkan metode yang jelas tentang pengajaran
agama dimulai dari menghafal disertai memahami kemudian keyakinan
dengan membenarkan. Setelah itu dikemukakan keterangan-keterangan dan
bukti-bukti yang membatu menguatkan akidah.
1) Kriteria Guru Yang Baik
Menurut al-Ghazali selain cerdas dan sempurna akalnya, seorang guru
yang baik juga harus baik akhlak dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan
akal dapat menguasai berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan
dengan akhal yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para
muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar,
mendidik, dan mengarahkan anak didiknya.
Selain sifat umum diatas seorang guru menurut al-Ghazali juga harus
memiliki sifat-sifat khusus yang diantaranya adalah kasih sayang, tidak
menuntut upah atas apa yang dikerjakannya, berfungsi sebagai pengarah
dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan murid-muridnya. Ia tidak
boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi
sebelum ia menguasai pelajaran yang sebelumnya. Seorang guru yang baik
harus menggunakan cara yang simpatik, halus, dan tidak menggunakan
kekerasan, cacian, makian, dan sebagaianya. Seorang guru juga tampil
sebagai teladan atau panutan yang baik dihadapan murid-muridnya. Ia juga
harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi secara
individual dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang
dimiliki muridnya. Seorang guru juga harus mampu memahami perbedaan
bakat, tabi’at, dan kejiwaan muridnya sesuai dengan perbedaan tingkat
usianya. Dan yang terakhir seorang guru yang baik harus berpegang teguh
pada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya merealisasikannya
sedemikian rupa.
2) Kriteria Murid Yang Baik
Pendidikan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
sehingga bernilai ibadah. Untuk menurut al-Ghazali seorang murid yang
baik harus memiliki sifat :
a). Berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina, dan sifat-sifat tercela lainnya.
b). Menjauhkan diri dari pesoalan-persoalan duniawi, mengurangi
keterikatan dengan dunia dan masalah-masalah yang dapat mengganggu
lancarnya penguasaan ilmu.
c). Rendah hati dan tawadhu’.
d). Khusus bagi murid yang baru jangan mempelajar ilmu-ilmu yang
berlawanan atau pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan.
e). Mendahulukan mempelajari yang wajib
f). Mempelajari ilmu secara bertahap
g). Tidak mempelajari suatu disiplin ilmu sebelum menguasai
disiplin ilmu sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu tersusun dalam urutan
tertentu secara alami. Dimana sebagian merupakan jalan menuju sebagian
yang lain.
h). Seorang murid juga harus mengenal nilai darisetiap ilmu yang dipelajarinya.
6. Hukuman dan Balasan
Selanjutnya Al-Ghazali berkata:Apabila anak-anak itu berkelakuan baik
dan melakukan pekerjaan yang bagus, hormatilah ia dan hendaknya diberi
penghargaan dengan sesuatu yang menggembirakannya, serta dipuji di
hadapan orang banyak. Jika ia melakukan kesalahan satu kali, hendaknya
pendidikmembiarkan dan jangan dibuka rahasianya. Jika anak itu
mengulanginya lagi, hendaknya pendidik memarahinya dengan tersembunyi,
bukan dinasehati di depan orang banyak, dan janganlah pendidik
seringkali memarahi anak-anak itu, karena hal itu dapat menghilangkan
pengaruh pada diri anak, sebab sudah terbiasa telinganya mendengarkan
amarah itu.
Metode pemberian hadiah dan hukuman untuk tujuan mendidik dipandang
sebagai metode yang aman. Terlalu banyak melarang dapat menimbulkan
hal-hal yang tidak diinginkan. Demikian pula terlalu banyak memberikan
pujian tidak menjadi penyebab terjadinya perbaikan. Dalam berbagai
kesempatan Al-Gazali menerangkan bahwa membesarkan anak dengan
kemanjaan, bersenang-senang dan bermalas-malasan serta meremehkan
pergaulan bersama orang lain termasuk perkara yang tidak baik karena
membesarkan anak dengan cara seperti ini akan merusak akhlaknya, karena
membesarkan anak dengan cara seperti ini akan merusak akhlaknya .
Ø KARYA-KARYA AL-GHAZALI
Ø Di Bidang filsafat
- Maqasid al-Falasifah
- Tafahut al-Falasifah
- Al-Ma’rif al-‘aqliyah
Ø Di Bidang Agama
- Ihya ‘Ulumuddin
- Al-Munqiz minal dhalal
- Minhaj al-Abidin
Di Bidang Akhlak Tasawuf
- Mizan al-Amal
- Kitab al-Arbain
- Mishkatul anwar
- Al-Adab fi Dien
- Ar-Risalah al-laduniyah
Di Bidang Kenegaraan
- Mustaz hiri
- irr al-Alamin
- Nasihat al-Muluk
- Suluk al-Sulthanah
[1] Nata Abuddin, Pemikiran para tokoh Pendidikan Islam, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada )hal 80 [2] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, Masyhadul Husaini, tt.hal 13
[3] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, Masyhadul Husaini, tt.hal 14
[4] Ihya Ulumuddin juz 3, hal 12
[5] Ihya Ulumuddin Juz 1, hal 25.
[6] Ihya Ulumuddin Juz 1, hal 25
[7] Dahlan Thamrin,”Al-Ghazali dan Pemikiran Pendidikannya”. Hal. 27
http://blog.uin-malang.ac.id/ziyanarosyida/2011/05/19/al-ghazali-dan-konsep-pendidikannya/
0 komentar:
Posting Komentar