Para Ulama telah menetapkan kriteria yang ketat agar hanya
benar-benar ‘orang yang memang memenuhi kriteria sajalah’ yang layak
menyadang gelar
muhaddits seperti yang diungkapkan oleh Imam Sakhowi tentang siapa Ahli Hadits (muhaddits) itu sebenarnya:
“Menurut sebagian Imam hadits, orang yang
disebut dengan Ahli Hadits (Muhaddits) adalah orang yang pernah menulis
hadits, membaca, mendengar, dan menghafalkan, serta mengadakan rihlah
(perjalanan) keberbagai tempat untuk, mampu merumuskan beberapa aturan
pokok (hadits), dan meng- komentari cabang dari Kitab Musnad, Illat,
Tarikh yang kurang lebih mencapai 1000 buah karangan.
Jika demikian (syarat-syarat ini terpenuhi -pent) maka tidak diingkari
bahwa dirinya adalah ahli hadits. Tetapi jika ia sudah mengena- kan
jubah pada kepalanya, dan berkumpul dengan para penguasa pada masa- nya,
atau menghalalkan (dirinya memakai-pent ) perhiasan lu’lu
(permata-pent) dan marjan atau memakai pakaian yang berlebihan (pakaian
yang berwarna-warni -pent). Dan hanya mempelajari hadits Al-Ifki wa
Al-Butan. Maka ia telah merusak harga dirinya, bahkan ia tidak memahami
apa yang dibicarakan kepadanya, baik dari juz atau kitab asalnya. Ia
tidak pantas menyandang gelar seorang Muhaddits bahkan ia bukan manusia.
Karena dengan kebodohannya ia telah memakan sesuatu yang haram. Jika ia
menghalalkannya maka ia telah keluar dari Agama Islam” ( Lihat Fathu
Al-Mughis li Al-Sakhowi, juz 1hal. 40-41).