Banyak
diantara kita yang sering mengeluh akan hidupnya di dunia, bahkan ada
yang berkata,”Mengapa di dalam kesenanganku selalu ada kesedihan, …Lalu
buat apa aku berbahagia?” Inilah perkataan orang-orang yang tidak
punya Iman. Dipikirnya dunia bisa memberikan kebahagiaan secara
mutlak..
SIANG dan
malam engkau berusaha mencari ketentraman dan kedamaian. Itu tidak bisa
dicapai di dunia ini. Meski begitu, tidak sekejap pun engkau akan
berhenti mencarinya. Kenyamanan semacam itu di dunia ini, adalah seperti
kilatan petir yang menyala dan hilang dalam
sekejap mata. Namun begitu, seperti apa kilatan petir itu? Kilatan yang
disertai dengan derasnya air yang jatuh, penuh dengan tetesan hujan,
penuh dengan salju. Kilatan yang kemunculannya disertai dengan derita.
Misalkan
seseorang ingin sampai di kota Jakarta. Jika ia berangkat dengan
menempuh jalan yang mengarah ke Puncak, sekeras apapun ia berupaya, ia
tidak akan pernah sampai ke Jakarta. Namun jika ia berjalan dengan
menempuh jalan yang memang mengarah ke Jakarta, walaupun ia adalah
seeorang yang cacat dan lemah, ia pasti akan sampai pada tujuannya.
Sama
seperti itu, tak ada apa pun di dunia ini yang bisa diraih tanpa
penderitaan, dan demikian pula jika kau ingin mencapai apa pun di alam
berikutnya. Maka, arahkan segala kepayahan dan penderitaanmu dengan
memandang kehidupanmu di alam berikutnya, sehingga tidak ada upayamu
yang terbuang percuma.
Di masa
Rasulullah saw, seseorang berkata, “Ya Muhammad! Aku tidak menginginkan
agamamu lagi! Demi Allah, ambil kembali agamamu ini! Sejak aku memasuki
agamamu ini, tidak pernah sehari pun aku bisa memperoleh ketenangan.
Kekayaanku lenyap, istriku pergi, orang tak lagi menghormati aku,
kekuatanku hilang, hasratku lenyap!” Rasulullah menjawab, “Allah
melarangku. Ketahuilah, kemanapun agama kami pergi, ia tak akan kembali
sebelum mencabut seseorang dari akarnya dan menyapu bersih rumahnya.”
“Dan tiada yang menyentuhnya, kecuali hamba yang disucikan.” [Q. S. 56 : 79]
Jika kau
mengatakan, “Wahai Muhammad! Ambil kembali agamamu ini, karena aku tak
pernah lagi tenang.” Maka, bagaimana mungkin agama kami akan melepaskan
seseorang, sebelum berhasil membawanya hingga mencapai tujuan?
Pernah
pada suatu ketika, ada seorang guru yang begitu miskin, sehingga ketika
musim salju tiba ia hanya punya selembar baju katun yang sangat tipis
untuk dikenakannya. Ketika itu, aliran sungai yang meluap membawa seekor
beruang pingsan yang hanyut dari pegunungan, kepalanya tersembunyi
dalam pusaran. Para murid kanak-kanaknya yang melihat punggung beruang
ini berteriak, “Guru! Lihat itu! Ada mantel bulu yang hanyut! Bukankah
kau selalu kedinginan? Masuklah ke air dan ambillah mantel itu!”
Guru itu,
karena sangat kedinginan dan butuh penghangat, segera terjun ke air dan
mengambil mantel itu. Beruang pun mulai tersadar, lalu merangkulnya dan
menancapkan cakar-cakar kedua lengannya ke punggung Sang Guru. Sang Guru
terperangkap.
“Guru! Cepat ambil mantelnya! Kalau kau tak bisa, keluarlah dari air! Kalau tidak kau akan semakin terbawa!” kata para muridnya.
“Dari tadi aku berusaha melepaskannya!” teriak Sang Guru. “Tapi dia yang tak mau melepaskan aku! Aku bisa apa?”
Bagaimana
mungkin Allah akan mau melepaskan kehangatan-Nya darimu? Bersyukurlah,
karena kita ada dalam genggaman tangan-Nya, dan bukan dalam genggaman
tangan kita sendiri. Betapa mudahnya kita akan menyerah dan pergi
dari-Nya, seandainya Dia tidak menahan punggung kita dengan segala
cakar-cakar Kuasa dan Rahmat-Nya.
Demikianlah,
sama seperti seorang bayi yang tidak memahami apapun selain air susu
ibunya dan ibunya sendiri. Allah yang Maha Agung tidak mungkin akan
meninggalkannya sendirian. Ia akan mengajarinya memakan sedikit roti dan
membiarkannya bermain, lalu dengan perlahan-lahan dan teratur Ia akan
menarik si bayi dari alam roti dan permainan, sedikit demi sedikit
hingga si bayi mampu membedakan baik dan buruk.
Begitu pula di alam mulk
(duniawi) ini, alam yang sesungguhnya merupakan alam bayi jika
dibandingkan dengan alam-alam berikutnya. Allah tidak akan
meninggalkanmu di sini, namun Dia akan mengasuhmu dan menarikmu
perlahan-lahan darinya, sehingga engkau menjadi dewasa dan akan mengerti
bahwa dunia ini hanyalah sekedar dunia kanak-kanak, tak lebih.
Aku heran dengan mereka
yang harus diseret-seret dengan jerat dan rantai
untuk menuju surga
“Ambil dia, jeratlah, dan pangganglah hingga matang.
Panggang ia dengan surga
lalu panggang dengan penyatuan dengan-Ku,
lalu dengan Keindahan,
kemudian dengan Kesempurnaan.”
Kau pernah
melihat bagaimana seorang nelayan menangkap ikan. Mereka tidak pernah
langsung menarik ikan dari air dengan serta-merta. Ketika kail sudah
menembus mulut ikan, mereka akan menarik talinya sedikit demi sedikit,
sehingga ikan itu mengeluarkan darah sedikit demi sedikit dan menjadi
semakin lemah. Setelah itu tali akan diulurnya lagi menjauh, lalu
ditariknya lagi, diulur lagi dan ditarik lagi. Terus menerus hingga ikan
menjadi begitu lemah dan tak lagi bertenaga, lalu membiarkan dirinya berserah diri kepada nelayan sepenuhnya.
Ketika kail Rahmat dan Kasih Sayang (Ar-Rahmaan) telah menembus mulut seorang hamba, Allah ta’ala akan menarik dan mengulur talinya perlahan-lahan sehingga darah sayyi’ah (sifat-sifat buruk) akan keluar darinya sedikit demi sedikit, hingga ia membiarkan dirinya berserah diri pada-Nya. “Dan Allah menyempitkan dan melapangkan, dan kepada-Nya kamu akan dikembalikan. [Q. S. 2 : 245]”
Terjemahan bebas oleh Herry Mardian, dari Jalaluddin Rumi, “Fihi ma Fihi”, discourse 26.
0 komentar:
Posting Komentar